JAKARTA - Peringatan Hari Sumpah Pemuda setiap 28 Oktober selalu mengingatkan bangsa Indonesia akan semangat generasi muda untuk berperan aktif dalam membangun negara. Pada 1928, para pemuda bersumpah untuk menyatukan bangsa.
Kini, semangat itu relevan untuk menghadapi tantangan ekonomi dan pangan, bukan sekadar kemerdekaan politik. Dalam konteks global yang penuh disrupsi, perang, dan krisis iklim, Indonesia harus mampu menjamin kedaulatan pangan sekaligus memanfaatkan peluang ekspor.
Presiden Prabowo Subianto menetapkan visi Indonesia menjadi lumbung pangan dunia, bukan sekadar slogan politik, tetapi strategi kebangsaan yang nyata. Dengan tanah subur dan keanekaragaman hayati yang melimpah, Indonesia memiliki modal besar.
Namun, tantangan utama adalah krisis regenerasi petani, di mana sebagian besar tenaga kerja pertanian berusia di atas 45 tahun. Jika tren ini berlanjut, sektor pertanian akan menghadapi kekurangan tenaga muda dalam 10–15 tahun mendatang.
Minimnya Minat Generasi Muda dan Tantangan Struktural
Data BPS menunjukkan bahwa 71% petani berusia di atas 45 tahun, sementara hanya 29% berada di bawah 45 tahun. Survei Jakpat bahkan mencatat hanya 6 dari 100 generasi Z yang tertarik menjadi petani. Alasan utamanya adalah ketiadaan pengembangan karir (36,3%), risiko kerja tinggi (33,3%), pendapatan rendah (20%), tidak dihargai (14,8%), dan kurang menjanjikan (12,6%).
Masalah lain adalah akses lahan dan modal. Banyak generasi muda ingin bertani, tetapi tidak memiliki tanah atau kesulitan mendapatkan pembiayaan. Pertanian tradisional yang identik dengan rendahnya produktivitas dan teknologi membuat sektor ini kalah bersaing dibanding industri lain yang lebih modern. Perubahan iklim, cuaca ekstrem, banjir, kekeringan, dan serangan hama semakin memperburuk situasi.
Petani Milenial sebagai Solusi Masa Depan
Di tengah krisis regenerasi, muncul harapan baru dari petani milenial, generasi muda yang mengelola pertanian sebagai bisnis modern berbasis teknologi. Mereka memanfaatkan IoT, e-commerce, dan media sosial untuk meningkatkan efisiensi, memasarkan produk, dan memperluas jaringan pasar. Petani milenial bukan sekadar menanam padi atau sayur, tetapi juga menanam ide, data, dan inovasi.
Contoh keberhasilan muncul dari startup eFishery, yang mengoptimalkan budidaya ikan dan udang melalui teknologi. Meskipun sempat tersandung skandal, inisiatif ini menunjukkan potensi besar pertanian modern. Di berbagai daerah, kelompok petani milenial telah meningkatkan hasil panen sekaligus menurunkan biaya produksi melalui pendekatan sains, bisnis, dan teknologi.
Peran Pemerintah dan Strategi Transformasi
Visi Presiden Prabowo untuk menjadikan Indonesia lumbung pangan dunia membutuhkan sumber daya manusia adaptif. Transformasi pertanian diperlukan, mulai dari produksi, distribusi, hingga pengelolaan hasil. Petani milenial menjadi penggerak utama, mengintegrasikan digitalisasi, inovasi, dan kewirausahaan.
Pemerintah menargetkan komoditas strategis seperti beras, jagung, kedelai, gula, dan daging sapi, serta ekspor hortikultura dan perikanan. Program Food Estate mendorong petani muda menggunakan sistem mekanisasi dan digitalisasi. Selain itu, pemerintah menyiapkan dana Rp30 triliun untuk program Petani Milenial, menjadikannya bagian dari Brigade Swasembada Pangan. Pendekatan korporatisasi, seperti koperasi modern, meningkatkan daya tawar petani dalam pembelian input, pengelolaan pascapanen, dan pemasaran produk.
Inovasi juga menjadi fokus melalui program Smart Farming 4.0 atau Precision Farming, menggunakan sensor tanah, irigasi otomatis, dan analitik data cuaca untuk meningkatkan efisiensi. Kolaborasi lintas sektor—akademisi, dunia usaha, dan komunitas muda—memperkuat ekosistem pertanian berkelanjutan.
Dampak Ekonomi dan Lingkungan Petani Milenial
Petani milenial tidak hanya meningkatkan produksi pangan, tetapi juga mendorong ekonomi desa. Mereka membangun rantai nilai baru, mengolah hasil panen menjadi produk bernilai tambah, serta menembus pasar internasional. Dengan pertanian regeneratif, organik, dan ramah iklim, mereka membantu menjaga kesuburan tanah, kualitas air, dan keanekaragaman hayati.
Petani muda adalah pahlawan modern, berjuang dengan cangkul, data, dan inovasi untuk kedaulatan pangan. Mereka mengubah paradigma pertanian dari “bertani untuk hidup” menjadi “bertani untuk maju”, berorientasi pada nilai tambah, keberlanjutan lingkungan, dan kesejahteraan sosial. Desa pun menjadi tempat menjanjikan secara ekonomi, sehingga urbanisasi bisa ditekan.
Kesadaran ini mengingatkan pada semangat Sumpah Pemuda 1928. Jika dulu pemuda berjuang untuk kemerdekaan, kini petani milenial berjuang untuk ketahanan pangan dan masa depan bangsa. Dengan kolaborasi pemerintah, universitas, dunia usaha, dan generasi muda, Indonesia bisa menjadi negeri agraris modern, mampu memberi makan rakyatnya sendiri bahkan dunia.