10 Kebiasaan Online yang Tampak Keren tapi Cringe di Dunia Nyata

Senin, 27 Oktober 2025 | 13:45:09 WIB
10 Kebiasaan Online yang Tampak Keren tapi Cringe di Dunia Nyata

JAKARTA - Di era digital, dunia maya sering menjadi ruang tempat manusia mencari pengakuan dan validasi. Setiap unggahan, komentar, atau status yang dibagikan di media sosial tampak seperti bentuk ekspresi diri yang bebas.

Namun, di balik layar, kebiasaan ini terkadang menciptakan paradoks: perilaku yang tampak keren dan diterima di dunia online justru bisa terasa cringe atau berlebihan ketika diterapkan di dunia nyata.

Fenomena ini muncul dari kebutuhan manusia untuk merasa dilihat dan dihargai, terutama di ruang digital yang penuh dengan penilaian cepat dalam bentuk “like” dan “komentar”. Tapi ketika kebiasaan online tersebut dibawa keluar dari konteksnya, sering kali muncul kesan tidak autentik, narsistik, atau bahkan canggung.

Berikut sepuluh kebiasaan online yang terlihat keren di media sosial, namun bisa menimbulkan kesan negatif saat dilakukan dalam interaksi langsung — seperti dikutip dari bolde.com.

1. Vague Posting: Sindiran Halus yang Justru Menyulut Drama

Menulis status dengan pesan samar atau sindiran halus kerap dianggap sebagai cara elegan untuk mengekspresikan perasaan. Namun, di dunia nyata, gaya komunikasi semacam ini justru terlihat pasif-agresif dan bisa menciptakan jarak sosial.

Alih-alih dianggap bijak, perilaku seperti ini sering membuat orang lain tidak nyaman karena tidak tahu siapa yang menjadi sasaran. Dalam konteks pergaulan langsung, keterusterangan dan kejujuran jauh lebih dihargai dibanding pesan terselubung yang penuh teka-teki.

2. Oversharing Kehidupan Pribadi: Saat Privasi Jadi Konsumsi Publik

Membagikan aktivitas sehari-hari atau curahan hati pribadi mungkin terasa menyenangkan di dunia maya. Namun, oversharing justru bisa menjadi bumerang.

Menurut American Psychological Association, terlalu sering membuka sisi pribadi di ruang publik digital dapat meningkatkan tingkat kecemasan dan memunculkan rasa tidak aman. Dalam pertemuan langsung, orang yang terbiasa mengumbar kehidupan pribadinya justru bisa dianggap kurang menjaga batas.

Ketika semua hal dijadikan konten, batas antara kehidupan personal dan publik menjadi kabur — dan dalam interaksi sosial nyata, hal ini sering membuat orang lain enggan untuk terbuka kembali.

3. Berdebat di Media Sosial: Antara Intelektual dan Ego Digital

Perdebatan panjang di dunia maya sering kali berujung pada ketegangan emosional dan adu argumen tanpa ujung. Banyak yang menganggap tindakan itu sebagai bentuk kecerdasan atau keberanian menyuarakan pendapat. Namun, di dunia nyata, sikap konfrontatif yang sama bisa dinilai tidak dewasa atau bahkan merusak reputasi profesional.

Tidak semua opini perlu direspons dengan debat terbuka. Terkadang, menahan diri dan memilih diam jauh lebih menunjukkan kedewasaan dibanding memaksakan kemenangan di ruang digital yang cepat lupa.

4. Menciptakan Versi Ideal Diri: Antara Filter dan Realita

Filter, editan, dan pose sempurna memang memperindah tampilan di layar, tapi menciptakan jarak besar antara citra digital dan diri yang sebenarnya. Akibatnya, saat seseorang bertemu langsung dengan orang lain, perbedaan antara realita dan persona online bisa menimbulkan rasa canggung.

Kondisi ini bahkan dapat mengikis kepercayaan diri, karena seseorang jadi merasa hanya dihargai ketika tampil “sempurna”. Dunia maya seharusnya menjadi sarana berbagi, bukan panggung untuk berlomba menciptakan versi ideal diri yang tak realistis.

5. Memposting Tanpa Cek Fakta: Saat Like Lebih Penting dari Kebenaran

Kebiasaan membagikan informasi tanpa memverifikasi kebenarannya sering dianggap sepele, padahal dampaknya besar. Di era digital, ketelitian menjadi bentuk tanggung jawab moral.

Menyebarkan berita palsu atau hoaks tidak hanya menurunkan kredibilitas pribadi, tetapi juga bisa merusak kepercayaan publik. Dalam konteks profesional, satu unggahan keliru dapat memengaruhi reputasi seseorang untuk waktu lama.

6. Mengkurasi Setiap Momen Hidup: Antara Dokumentasi dan Drama

Tidak semua momen perlu diabadikan atau dibagikan. Terlalu sering menampilkan konflik pribadi atau drama kehidupan dapat menimbulkan kesan tidak profesional.

Orang yang mampu menjaga privasi dan tahu kapan harus berbagi cenderung lebih dihormati. Kehidupan yang tidak selalu dipamerkan sering kali justru terlihat lebih tenang, tulus, dan otentik.

7. Memancing Pujian dan Validasi: Ketika Rendah Hati Jadi Taktik

Unggahan yang tampak merendah untuk mendapatkan pujian — misalnya komentar seperti “hasilku jelek banget ya?” — sering kali terlihat tidak tulus. Ketergantungan pada validasi eksternal bisa mengikis rasa percaya diri sejati.

Pujian akan terasa lebih berarti ketika datang secara alami, bukan karena dicari melalui taktik terselubung. Dunia nyata menghargai keaslian, bukan performa pencitraan.

8. Konten Pasif-Agresif dan Keluhan Publik

Mengungkapkan kekesalan melalui unggahan media sosial mungkin terasa melegakan, tetapi di mata orang lain, hal itu justru tampak seperti penghindaran konflik langsung. Jika ada masalah, menyampaikannya secara pribadi dan sopan adalah tanda kedewasaan emosional.

Menyindir lewat postingan tidak menyelesaikan masalah, justru memperpanjang drama yang tidak perlu.

9. Terus Membandingkan Diri: Sumber Ketidakbahagiaan Digital

Melihat pencapaian orang lain di media sosial bisa memicu rasa iri dan rendah diri. Padahal, setiap orang memiliki jalannya masing-masing.

Daripada tenggelam dalam perbandingan, lebih baik fokus pada pengembangan diri sendiri. Dengan begitu, rasa iri dapat berubah menjadi inspirasi dan motivasi positif.

10. Asumsi Semua Orang Peduli pada Hidup Kita

Berbagi pencapaian penting memang wajar, tetapi memperbarui setiap detail kehidupan bisa membuat audiens bosan. Tidak semua orang ingin tahu apa yang kita lakukan setiap saat.

Menjaga keseimbangan antara berbagi dan menyaring informasi menunjukkan kedewasaan dalam mengelola citra diri. Dunia nyata menghargai kesederhanaan dan keaslian, bukan eksposur berlebihan.

Refleksi: Dunia Maya Boleh Nyata, tapi Jangan Jadi Sandiwara

Media sosial adalah ruang yang kuat untuk berjejaring dan berekspresi. Namun, kebebasan itu perlu diimbangi dengan kesadaran diri. Apa yang tampak mengesankan di dunia maya bisa terasa berlebihan di dunia nyata bila tidak disertai autentisitas dan empati.

Keseimbangan antara dunia digital dan dunia nyata tidak hanya mencerminkan kepribadian yang matang, tetapi juga menunjukkan kemampuan seseorang dalam menjaga integritas dan kewarasan sosial di tengah banjir informasi.

Terkini