JAKARTA - Langkah Timnas Indonesia menuju Piala Dunia 2026 resmi terhenti setelah dua kekalahan beruntun di ronde keempat Kualifikasi Zona Asia. Kekalahan 2-3 dari Arab Saudi dan 0-1 dari Irak membuat harapan skuad Garuda di bawah asuhan Patrick Kluivert harus kandas.
Hasil tersebut tak hanya mengakhiri perjalanan Indonesia di kualifikasi, tetapi juga menandai perpisahan Kluivert beserta seluruh staf pelatihnya. Meski masa tugasnya singkat, perjalanan pelatih asal Belanda itu meninggalkan banyak catatan penting bagi tim nasional — terutama soal efektivitas lini depan yang kembali menjadi sorotan.
Produktivitas gol kembali menjadi masalah klasik. Timnas Indonesia memang menunjukkan semangat tinggi dan peningkatan dalam penguasaan bola, namun penyelesaian akhir masih menjadi titik lemah. Dari era Shin Tae-yong hingga Patrick Kluivert, masalah serupa terus berulang: tak ada sosok striker murni yang benar-benar tajam di kotak penalti lawan.
Tak heran, banyak legenda sepak bola Tanah Air angkat bicara. Salah satunya adalah Cristian Gonzales, mantan penyerang naturalisasi yang dikenal sebagai predator mematikan di era 2000-an. Ia menyoroti absennya penyerang haus gol dalam skuad Garuda saat ini.
Produktivitas Gol Masih Jadi Masalah Utama
Data produktivitas gol menunjukkan betapa seriusnya masalah ini. Di era Shin Tae-yong (STY), Timnas Indonesia mencatat 57 pertandingan dengan total 106 gol dan 75 kali kebobolan. Rata-rata gol per laga hanya 1,8, sementara kebobolan mencapai 1,3 gol per pertandingan.
Sayangnya, situasi tak jauh berbeda di bawah kendali Patrick Kluivert. Dari delapan pertandingan, Indonesia hanya mencetak 11 gol dan kebobolan 15 kali — rata-rata 1,3 gol dicetak dan hampir dua gol masuk ke gawang sendiri di setiap laga.
Padahal, jika menengok ke masa lalu, Indonesia pernah punya deretan striker murni yang terkenal tajam. Nama-nama seperti Ricky Yakob, Rochi Putiray, Kurniawan Dwi Yulianto, Bambang Pamungkas, hingga Cristian Gonzales menjadi simbol ketajaman di lini depan. Mereka mampu mencetak gol dari peluang sekecil apa pun, sesuatu yang kini nyaris hilang dari tim nasional.
Minimnya pemain dengan insting gol tinggi membuat gaya bermain Timnas Indonesia kerap buntu, terutama ketika menghadapi lawan dengan pertahanan rapat. Situasi ini menjadi pekerjaan rumah besar bagi pelatih baru yang akan menggantikan Kluivert.
Kritik El Loco: “Tak Ada Striker Murni di Kotak Penalti”
Sebagai mantan striker yang pernah memperkuat Timnas Indonesia, Cristian Gonzales alias El Loco punya pandangan tegas tentang permasalahan ini. Menurutnya, penyebab utama tumpulnya lini depan bukan pada skema permainan, melainkan pada absennya sosok striker sejati yang punya naluri mencetak gol tinggi.
“Itu semua rata-rata enggak ada striker murni. Itu masalahnya ya,” ujar Gonzales dalam wawancara di Podcast Jebreeet Media baru-baru ini. “Karena saya kemarin lihat mereka pasang striker tapi selalu ke kanan atau ke kiri. Di kotak penalti enggak ada siapa-siapa.”
Dalam skuad terakhir Timnas Indonesia, nama-nama seperti Beckham Putra Nugraha, Ole Romeny, Mauro Zjilstra, Ramadhan Sananta, Ragnar Oratmangoen, Miliano Jonathans, dan Egy Maulana Vikri mengisi posisi menyerang. Namun, sebagian besar di antara mereka lebih nyaman bermain sebagai winger, second striker, atau gelandang serang.
Gonzales menilai, tanpa striker murni, Timnas Indonesia akan kesulitan menuntaskan peluang. Ia mengingatkan bahwa peran penyerang sejati bukan hanya mencetak gol, tetapi juga menakuti bek lawan, membuka ruang, dan menciptakan tekanan konstan di area kotak penalti.
Sebagai sosok yang pernah menjadi top skor di Liga Indonesia, El Loco memahami pentingnya insting dan posisi di depan gawang. “Kalau di kotak penalti kosong, siapa yang mau cetak gol?” ujarnya tegas.
Regulasi Kompetisi Dituding Jadi Akar Masalah
Pandangan serupa datang dari mantan pemain asal Chile yang juga pernah bersinar di Indonesia, Cristian Carrasco. Ia menilai bahwa krisis striker lokal tak bisa dilepaskan dari kebijakan kompetisi domestik yang terlalu banyak memberi tempat bagi pemain asing di posisi penyerang.
“Masalahnya juga dari kompetisi dalam negeri kita, untuk posisi striker murni selalu pakai pemain asing. Enggak ada pemain lokal. Jadi susah buat pemain lokal masuk ke timnas untuk posisi striker murni,” jelas Carrasco.
Menurutnya, klub-klub Liga 1 saat ini lebih mengandalkan bomber asing karena dianggap lebih cepat beradaptasi dan menjamin produktivitas. Namun, efek jangka panjangnya adalah minimnya kesempatan bagi pemain lokal untuk berkembang di posisi paling vital itu.
Carrasco juga menambahkan, Indonesia sebenarnya memiliki pemain sayap dengan kualitas bagus dan kecepatan tinggi. “Untuk posisi sayap kanan dan kiri sangat bagus karena punya kecepatan, tapi tidak untuk posisi striker murni. Ole Romeny menurut saya lebih bagus di belakang striker,” ujarnya.
Ia menilai hanya sedikit pemain yang punya potensi ofensif menonjol. “Punya Marselino yang luar biasa dalam dribbling dengan bola. Menurut saya hanya Ole Romeny dan Marselino pemain ofensif terbaik di Timnas Indonesia saat ini. Mudah-mudahan kita dapat striker yang dicari selama ini,” tandasnya.
Kesimpulan: Saatnya PSSI dan Klub Berbenah
Kritik dari dua mantan pemain asing yang pernah menjadi ikon sepak bola Indonesia ini menjadi refleksi penting bagi PSSI dan para pelatih lokal. Regulasi yang membatasi peran pemain lokal di lini depan perlu ditinjau kembali agar muncul generasi penyerang baru.
Kegagalan di Kualifikasi Piala Dunia 2026 seharusnya menjadi titik evaluasi, bukan akhir dari semangat. Indonesia memiliki talenta muda potensial, namun tanpa penyerang tajam di lini depan, kemenangan besar akan tetap sulit diraih.
Seperti yang diungkapkan Cristian Gonzales, Timnas Indonesia tak hanya butuh strategi baru, tetapi juga sosok striker yang berani dan memiliki naluri mencetak gol tinggi — seperti para legenda terdahulu. Kini, tantangan terbesar bagi sepak bola Indonesia adalah menemukan kembali El Loco baru yang bisa membawa Garuda kembali menebar ancaman di kotak penalti lawan.