JAKARTA - Harga minyak mentah dunia masih belum mampu keluar dari tekanan pada perdagangan. Meskipun muncul optimisme terkait kesepakatan dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China, kekhawatiran akan lemahnya permintaan global tetap menjadi bayangan besar yang menahan penguatan harga.
Pada sesi perdagangan terakhir, minyak mentah Brent turun 14 sen atau hampir 0,2% ke posisi US$ 65,70 per barel, sedangkan West Texas Intermediate (WTI) melemah 9 sen atau 0,2% menjadi US$ 61,41 per barel. Kedua acuan harga tersebut sempat merosot sekitar 1% di awal perdagangan, sebelum akhirnya menutup sesi dengan koreksi ringan.
Penurunan ini menggambarkan sikap pasar yang masih berhati-hati. Para pelaku tampak menimbang faktor positif dari potensi perbaikan hubungan dagang dua ekonomi terbesar dunia dengan kekhawatiran terhadap melemahnya konsumsi energi secara global.
“Pelaku pasar minyak jauh lebih berhati-hati terhadap kesepakatan dagang dibanding pelaku pasar saham. Suasana negosiasi yang cerah tidak serta-merta berarti peningkatan permintaan,” ujar John Evans.
Kesepakatan Dagang AS–China Dorong Sentimen Global
Optimisme sempat meningkat setelah Menteri Keuangan AS, Scott Bessent, mengumumkan bahwa Washington dan Beijing berhasil mencapai kerangka substansial (substantial framework) dalam pembicaraan perdagangan yang berlangsung akhir pekan lalu.
Menurut Bessent, kesepakatan ini diharapkan bisa menghindari tarif 100% yang sebelumnya direncanakan AS terhadap sejumlah produk asal China, sekaligus menunda pengendalian ekspor logam tanah jarang (rare earth) dari Negeri Tirai Bambu.
“Pejabat AS dan China berhasil menyepakati sebuah kerangka substansial dalam pembahasan dagang,” kata Bessent.
Kabar tersebut langsung mendorong penguatan di pasar saham global. Indeks saham-saham utama di Eropa dan Asia mencatat kenaikan, sementara aset lindung nilai seperti emas dan obligasi pemerintah justru melemah akibat meningkatnya selera risiko investor.
Namun, efek positif dari kabar ini tidak sepenuhnya menular ke pasar energi. Para pelaku pasar minyak tampak lebih menahan diri, mempertimbangkan bahwa kesepakatan dagang belum otomatis berarti lonjakan aktivitas ekonomi yang signifikan, terutama di sektor industri yang menjadi pengguna utama energi.
Evans menegaskan bahwa pelaku pasar energi cenderung menunggu bukti nyata dari peningkatan permintaan minyak sebelum bereaksi lebih jauh. “Suasana negosiasi yang positif memang memberikan harapan, tetapi tidak cukup kuat untuk mengubah pandangan bahwa permintaan global masih lemah,” ujarnya.
Fundamental Pasar Masih Tertekan, Permintaan Belum Pulih
Kelemahan permintaan minyak masih menjadi isu utama yang membebani harga dalam beberapa pekan terakhir. Pada awal Oktober, harga Brent bahkan sempat jatuh ke posisi terendah sejak Mei 2025, dipicu oleh tanda-tanda perlambatan ekonomi global yang semakin nyata.
Beberapa indikator ekonomi dari China, Eropa, dan Amerika Serikat menunjukkan pertumbuhan industri yang melambat, memperkuat kekhawatiran terhadap prospek konsumsi energi di kuartal akhir tahun.
Meskipun demikian, ada sejumlah faktor penopang yang menahan harga minyak dari penurunan lebih dalam. Sanksi baru yang diberlakukan AS terhadap Rusia, serta peningkatan konsumsi energi domestik di Amerika Serikat yang lebih kuat dari perkiraan, menjadi dua elemen penting yang menjaga kestabilan pasar.
“Kabar positif bagi pihak bull adalah konsumsi di AS terus menunjukkan pemulihan. Jika tidak, pelemahan harga seperti yang terlihat hari ini dapat semakin dalam,” kata Chris Beauchamp, Kepala Analis Pasar IG Bank.
Komentar Beauchamp menegaskan bahwa daya serap pasar domestik AS kini menjadi tumpuan harapan utama bagi stabilitas harga minyak global, setidaknya dalam jangka pendek. Namun, selama permintaan di kawasan Asia dan Eropa belum menunjukkan peningkatan signifikan, tren harga masih rentan terhadap tekanan.
Pasar Energi di Persimpangan, Menanti Arah Baru
Meskipun kesepakatan dagang AS–China memberikan sedikit angin segar, dinamika pasar minyak tetap berada di wilayah abu-abu. Para pelaku pasar kini menanti kepastian dari Organisasi Negara Pengekspor Minyak dan Sekutunya (OPEC+) terkait potensi kebijakan produksi pada akhir tahun.
Jika OPEC+ memilih untuk mempertahankan atau memangkas produksi, pasar mungkin mendapatkan dukungan baru yang dapat membantu menstabilkan harga. Namun, bila organisasi tersebut justru memutuskan menambah pasokan di tengah permintaan yang masih lemah, harga minyak berpotensi menghadapi tekanan lebih dalam.
Selain itu, arah kebijakan moneter global juga berpengaruh besar terhadap pergerakan harga energi. Suku bunga yang tinggi di sejumlah negara maju masih membatasi pertumbuhan ekonomi dan, secara tidak langsung, menekan konsumsi energi.
Sementara itu, sentimen geopolitik juga terus menjadi faktor yang diperhatikan. Ketegangan di Timur Tengah dan konflik Rusia–Ukraina masih menciptakan ketidakpastian terhadap pasokan global, meskipun dampaknya sejauh ini belum menimbulkan lonjakan harga besar.
Dalam kondisi seperti ini, investor memilih berhati-hati. Mayoritas pelaku pasar menunggu sinyal lebih jelas baik dari sisi kebijakan OPEC+ maupun perkembangan hubungan dagang antara AS dan China.
Harapan ke Depan: Pemulihan Permintaan dan Stabilitas Harga
Ke depan, fokus utama pasar minyak adalah pemulihan permintaan global. Jika data konsumsi energi di AS dan Asia mulai menunjukkan tren positif, harga minyak berpotensi menguat kembali dari level saat ini.
Namun, tanpa perbaikan nyata dalam aktivitas industri dan perdagangan internasional, harga minyak kemungkinan akan bergerak dalam kisaran terbatas.
Optimisme terhadap stabilisasi harga masih ada, terutama jika kebijakan fiskal dan moneter di negara-negara besar mulai mendukung pertumbuhan ekonomi.
Sementara itu, perkembangan kesepakatan dagang AS–China tetap akan menjadi barometer utama kepercayaan pasar global. Keberhasilan kedua negara mencapai titik temu yang konkret dapat membantu memulihkan permintaan energi dan menjaga keseimbangan pasar minyak dalam jangka menengah.
Dengan kondisi yang masih fluktuatif, pelaku pasar tampaknya akan terus memantau kombinasi faktor ekonomi, geopolitik, dan kebijakan produksi untuk menentukan arah selanjutnya.
Untuk saat ini, harga minyak memang masih dalam tekanan, tetapi optimisme tetap terjaga — meski tipis — bahwa stabilitas akan segera tercapai begitu permintaan global mulai menunjukkan tanda-tanda pemulihan.